Pandangan Tokoh-Tokoh Beriman Lain Tentang Gereja Katolik Di Keuskupan Denpasar


Di Nusa Tenggara Barat

1.      Beberapa tokoh beriman lain yang diwawancarai menyadarkan kita bahwa umat Katolik sebetulnya kurang dikenal di masyarakat NTB. Pengaruh kita secara sosial maupun politis kurang dirasakan.
2.      Drs. Haji Syukri Sanusi (42 tahun), pimpinan Yayasan Banu Sanusi, Sesela-Lombok Barat, mengatakan bahwa dia hanya mendengar nama Agama Katolik tetapi tidak bisa membedakan antara Kristen dan Katolik. Masyarakat Sesela, bahkan di kalangan tokoh-tokoh sekalipun, sangat sedikit yang mengetahui apa itu Gereja Katolik. Menurutnya Gereja Katolik itu sangat eksklusif, kurang terbuka dengan masyarakat umum. Kurangnya komunikasi mengakibatkan lemahnya keharmonisan dan cenderung memicu kecurigaan satu sama lain. Peran Gereja Katolik di masyarakat dan di pemerintahan, menurut beliau, sangat kurang. “Paling-paling hanya untuk acara seremonial.”
3.      Ir. Lalu Winengan, MM, MD (41 tahun), Ketua KNPI NTB, mengatakan bahwa di NTB istilah “Katolik” tidak dikenal. Yang kenal paling hanya tokoh-tokoh saja. Hal ini terjadi karena umat dan tokoh-tokoh Katolik kurang terbuka.
4.      Bapak Mamiek Ansar, Ketua Adat Masyarakat Sasak-Lombok mengungkapkan pendapat yang sama: “Umat Katolik tidak terlalu dikenal oleh masyarakat NTB. Yang dikenal adalah umat kristiani. Orang di sini sulit membedakan mana Katolik mana Protestan. Pokoknya semua Kristen. Bagi saya yang Katolik di Lombok ini ya umat yang gerejanya di depan Rumah Sakit Umum, di Panen Abadi Ampenan.Seperti masyarakat lain pasti ada saja pengaruh kehadiran umat Katolik di NTB. Yang jelas sampai sekarang saya melihat bahwa umat Katolik tidak pernah membuat masalah. Malah waktu kerusuhan itu mereka malah mendapat masalah yang kita semua sebenarnya tidak inginkan.” 
5.      Bapak Mamiek Ansar juga melihat kurangnya keterbukaan dan peran tokoh-tokoh Katolik dalam masyarakat dan secara politis: “Tokoh dan umat Katolik NTB sekarang belum terlalu terbuka. Memang ada satu atau dua orang yang sudah terbuka dan mengikuti kegiatan-kegiatan khususnya dengan adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Namun keterbukaan itu hanya sebatas silahturahmi waktu ada upacara keagamaan, acara yang dibuat Pemerintah atau kesempatan-kesempatan tertentu. Memang ada satu dua tokoh umat Katolik yang saya lihat cukup berpengaruh dan mewarnai masyarakat NTB. Tetapi masih sangat sedikit . Saya ingat sosok Bapak Norbert Ama Ngongo. Demikian pula kawan saya Bapak Bernardus Sore. Dulu ada beberapa tokoh Katolik yang terlibat dalam kehidupan politik karena ada wadah atau partai Katolik. Sekarang tidak ada partai Katolik. Beberapa tokoh Katolik masuk dalam partai nasional namun belum mendapatkan suara dari masyarakat.”
6.      Kehadiran Gereja Katolik dirasakan oleh masyarakat NTB, meskipun mereka sulit membedakannya dengan Gereja Kristen lainnya, melalui Rumah Sakit dan Sekolah Katolik.
7.      Bapak Mamiek Ansar mengatakan: “Kehadiran Rumah Sakit  Katolik di wilayah NTB sangat membantu masyarakat. Pelayanan Rumah Sakit Katolik yakni Rumah Sakit Karang Ujung memang  sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat Lombok.  Pelayanannya bersifat umum dan tidak membeda-bedakan pasien. Sekarang saya melihat RS tersebut juga bekerja sama dengan Rumah Sakit lain. Pelayanan kesehatan ini perlu ditingkatkan lagi. Saya melihat keberadaan Sekolah Katolik di wilayah NTB memberikan banyak sumbangan bagi peningkatan SDM di wilayah NTB. Sebagai sekolah swasta Sekolah Katolik memiliki kualitas yang bagus. Ketika sekolah negeri masih sedikit, Sekolah Katolik menjadi saingan utama sekolah negeri. Saya juga salut bahwa Sekolah Katolik sangat memperhatikan pelajaran agama para siswanya. Masing-masing siswa diberi kesempatan belajar agama menurut agamanya masing-masing. Bagi saya sebagai sebuah pengetahuan sebenarnya tidak masalah kalau siswa belajar agama lain agar dapat mengerti agama lain. Dengan demikian menambah wawasan mereka dan dapat bergaul dengan luas.
8.      Penilaian serupa diberikan oleh Tuan Guru Prof. Zaiful Muslim (68 thn), Ketua MUI NTB, atas Sekolah Katolik dan Rumah Sakit Katolik. Berkaitan dengan gerakan pemberdayaan ekonomi melalui Credit Union, beliau mengatakan: “Sepanjang tujuannya sesuai dengan tujuan koperasi itu bagus saja. Yang kita hindari kalau dibalik itu ada maksud-maksud tertentu. Kalau orang lapar diberi uang bisamacem-macem penafsirannya. Maka perlu diperhatikan agar pelayanan koperasi ini tidak dimaksudkan sebagai cara untuk menarik umat lain yang dapat menggangu kerukunan hidup beragama.”

Di Bali 
1.      Kehadiran Gereja Katolik rupanya cukup dirasakan oleh masyarakat terutama karena perannya di bidang pendidikan dan kesehatan. Demikian pendapat Pdt. Drs. I Wayan Sudira Husada, M.M  (58 thn), Bishop GKPB.
2.      Made Arga Pynatih, Wakil Bupati Kabupaten Buleleng, juga berpendapat demikian. “Saya melihat, dan ini benar, pelayanan di BKIA Panti Sila dilakukan secara sungguh-sungguh dengan sebuah tanggungjawab moral yang kuat. Sejauh ini saya belum pernah mendengar adanya keluhan dari masyarakat, apalagi sampai diprotes. Ibu saya melahirkan adik-adik saya di Panti Sila.” Beliau juga mengakui bahwa Sekolah Swasta Katolik telah memberi “warna” tersendiri bagi dunia pendidikan di Buleleng dengan melahirkan manusia yang berkualitas dalam berbagai bidang kehidupan. Beliau juga mengapresiasi gerakan pengembangan ekonomi Gereja melalui koperasi. Berkaitan dengan Sinode III, beliau mengingatkan bahwa persoalan sedikit atau banyaknya jumlah umat suatu agama bukanlah persoalan yang substansif. Yang terpenting adalah menjadikan kehadiran semua agama dapat menjadi “berkat” bagi semua orang.
3.      Tokoh-tokoh Hindu yang diwawancarai cenderung memberi penekanan supaya umat Katolik tidak melakukan kristenisasi dengan iming-iming bantuan sosial tertentu.
4.      I Dewa Gede Ngurah Swastha, SH, Petajuh Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali dan Wakil Ketua FKUB Bali serta Anggota Badan Koordinasi Pengamanan Bali, mengungkapkan: “Masyarakat Bali selalu terbuka kepada siapa saja yang datang ke Bali. Satu yang kita pegang yakni Desa Kala Patra atau Desa Mawacara. Artinya di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Nah, umat Katolik sebagai pendatang diminta  untuk [menghargai] Desa Kala Patra atau Desa Mawacara. Agar terjadi keharmonisan hubungan, umat Katolik diminta menghargai local genius di masing-masing tempat di mana Gereja Katolik berada. Aturan ditaati, local genius-nya dihormati, terutama bagi siapa saja yang datang di desa tersebut. Kalau itu yang dipegang dan ditaati kerukunan pasti terjaga. Hukumnya ditaati, local wisdom-nya dihormati.”
5.      Beliau menambahkan: “Umat Hindu di Bali sangat welcome, terbuka dengan pendatang. Karakter orang Bali selalu terbuka, sehingga dengan mudah menerima semua golongan. Asal tidak ada niat mengubah kearifan lokal di Bali dan  tidak ada niat mengubah Bali jadi Kristen. Orang Kristen perlu merenungkan pesan Mahatma Gandhi kepada seorang misionaris Kristen yang datang kepadanya. Jadikan kami lebih Hindu, maka Anda akan menjadi lebih Kristen.Dalam kehidupan antarumat beragama dan bermasyarakat umat mesti saling membaur yang satu dengan yang lain, tanpa ada pembatas (inklusif). Para tokoh antaragama harus memberi contoh dan teladan agar menjadi pijakan umat di tingkat bawah. Hanya dalam tata perayaan agama boleh eksklusif, tapi dalam kehidupan bermasyarakat mestinya inklusif. Dulu kami melihat umat Katolik itu fanatik, keras dan tegas dengan aturan. Namun saat ini, umat Katolik sudah tidak eksklusif lagi. Keberadaan karya sosial dan bantuan sosial yang dilakukan Gereja Katolik di Bali diakui dan diapresiasi. Munculnya isu kristenisasi disebabkan karena salah penafsiran dan umat sendiri kurang waspada. Karya sosial dan bantuan sosial boleh saja dilakukan, asal tidak terbukti mengajak umat Hindu untuk masuk Katolik.Saya kagum dengan lembaga sosial, karya sosial  yang ada di Katolik dan Islam. Saya lihat, lembaga sosial Kristen dan Katolik tidak diskriminatif, karena misi sosial itu berkaitan dengan kemanusiaan. Namun karya sosial atau bantuan sosial itu tidak [boleh] disertai dengan menitip Injil atau Kitab Suci kepada umat yang dibantu.”
6.      Prof. Dr. I Made Titib, Ketua PHDI Pusat, Korwil Bali dan Nusra serta Rektor IHDN Denpasar meminta pimpinan Gereja Katolik untuk terus membina hubungan baik antara umat Hindu dan Katolik di Bali yang sudah terjalin sejak lama. “Hendaknya hubungan harmoni yang telah terbangun puluhan tahun harus tetap dijaga. Yang terpenting umat Hindu jangan disakiti, dilecehkan. Kalau terjadi, maka akan dilawan bahkan sampai puputan.” Terkait dengan penginjilan beliau menyatakan: “Yang tidak dibenarkan adalah mengiming-iming, memaksa umat Hindu agar masuk Katolik. Kalau itu yang terjadi, maka merupakan awal sumber konflik antarumat Katolik dan Hindu. Kalau orang masuk Katolik dengan hati nurani sendiri, tidak masalah.” Beliau mengakui bahwa kehadiran karya sosial Gereja Katolik sangat membantu umat Hindu di Bali. Umat Hindu bangga bila menyekolahkan anakya di Sekolah Katolik. Terkait isu kristenisasi, beliau mengatakan: “Dalam beberapa tahun terakhir, saya tidak dengar lagi isu kristenisasi. Peranan FKUB sangat penting dalam menyelesaikan masalah-masalah antaragama.” Beliau juga meminta hirarki gereja untuk meningkatkan kesadaran umat Katolik agar menjaga identitas Bali.Jangan sampai menggunakan simbol-simbol agama Hindu pada upacara perayaan agama. Boleh memakai penjor, asal hanya sebatas dekorasi. Pelihara masing-masing tradisi, gunakan identitas masing-masing. Selama ini tidak ada friksi antarumat Katolik dan Hindu.
7.      Berkaitan dengan lembaga pendidikan Katolik, beliaumengharapkan disediakan guru-guru agama Hindu di Sekolah Katolik. Itu penting untuk pembinaan budi pekerti dan diwajibkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.“Biarlah burung-burung mencari cabang kayu. Jangan kayu bercabang mencari burung. Biarlah masing-masing umat mencari agamanya, biarlah umat Hindu mencari identitas dan agamanya, jangan diajak dan diiming-iming materi. Bila memberi atau membantu, bantulah dengan iklas tanpa meminta imbalan.”
8.      Drs. Ketut Wiana, Mag, Ketua Sabha Walaka Parisada Pusat, juga mengakui isu kristenisasi mulai redup akhir-akhir ini. Beliau mengatakan: “Saya berterima kasih kepada Gereja Katolik. Karena melalui lembaga atau karya sosial di bidang pendidikan membantu melahirkan dan mencerdaskan sumber daya umat Hindu di Bali. Mereka masuk Sekolah Katolik, tapi tetap beragama Hindu.
9.      Cahaya Wirawan Hadi, Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa Bali, menilai gerakan sosial atau bantuan sosial dari Gereja Katolik bagi umat lainmasih kurang, masih sebatas di kalangan internal umat Katolik. Sebagai seorang alumni Sekolah Swastiastu (sekarang St. Yoseph), beliau prihatin dan kecewa melihat mutunya yang stagnan. “Di tahun 1970-an orang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di Swastiastu. Sekarang St. Yoseph tak ada yang berubah baik fisik maupun kualitas. Dulu, di tahun 70-an sekolah ini pilihan terbaik, sekarang ini tidak ada popularitasnya.”

9.      Kesimpulan:
1.      Gereja Katolik di Keuskupan Denpasar hadir sebagai “kawanan kecil yang tidak memiliki pengaruh besar secara ekonomis,sosial dan politis. Kehadiran dan kontribusi Gereja dirasakan oleh masyarakat beriman lain, terutama melalui karya-karya pendidikan dan kesehatan, belakangan ini juga melalui gerakan koperasi simpan-pinjam. Melalui pelayanan di bidang-bidang itulah, kehadiran dan peran Gereja yang terbuka untuk semua orang itu dirasakan oleh masyarakat.
2.      Sekolah-Sekolah Katolik di Keuskupan Denpasar mendapat apresiasi karena menerima dan mendidik anak-anak non-Katoliksecara tidak diskriminatif dan memberi pelajaran agama menurut agama masing-masing. Sekedar sebagai pembanding, Sekolah Soverdi Tuban, semisal, memiliki 2000 orangsiswa: Hindu 868 (44%); Protestan 391 (19%); Katolik 345 (17%), Islam 341 (17%), Buddha 64 (3%).
3.      Catatan juga diberikan tentang stagnannya kualitas pelayanan lembaga-lembaga pendidikan Katolik. Masyarakat semakin maju, tuntutannya tentu saja semakin tinggi. Di masyarakat telah muncul banyak sekolah dengan kualitas yang lebih baik dengan dukungan dana yang lebih kuat baik dari kalangan swasta maupun Pemerintah. Dalam situasi semacam ini, Sekolah-Sekolah Katolik dituntut untuk semakin memancarkan kualitas yang membuatnya berbeda dan menjadi pilihan yang menarik di masyarakat.
4.      Jika ingin meningkatkan perannya dalam kehidupan masyarakat, Gereja harus menjadi komunitas manusia-manusia yang berkualitas.
5.      PETA JALAN KE DEPAN: peningkatan kualitas manusia melalui pendidikan yang bermutu, pemberdayaan ekonomi, peningkatan kesadaran berpolitik dan bermasyarakat, upaya menjalin hubungan baik dengan masyarakat beriman lain.

Comments

Popular posts from this blog

PROFIL KONGREGASI/BIARA YANG BERKARYA DI KEUSKUPAN DENPASAR

Romo Hubertus Hady Setiawan,Pr

Rm. Benediktus Deni Mary